rabu


MEMASAK SEBAGAI TERAPI

ASIN! SUDAH KEBELET NIKAH!

Pastinya sudah tidak asing ditelinga, setiap kali memasak dan masakannya terasa asin seolah berkuah air laut, juru masak dari masakan itu biasanya akan langsung dinobatkan sebagai seorang yang sudah sangat kebelet nikah. Siapapun orangnya, laki – laki ataupun perempuan, namun jika yang memasak adalah ibu hamil atau seorang calon ayah, maka bukan lagi mendapat gelar ingin cepat nikah, tapi langsung tercetak kelamin calon bayi yang masih didalam perut ibunya, “wah ini anak kamu laki – laki!”

Padahal bukan seperti itu, secara psikologis kondisi mental seseorang disaat sedang memasak akan terbias dalam masakan yang sedang diolah. Misal saja seorang yang sedang marah dan dalam marahnya itu, ia memberi bumbu pada masakan, biasanya akan asal – asalan, dan yang lebih buruk lagi adalah ditambahi dengan makian dari sang juru masak yang sedang marah. Dan pastinya akan sangat terasa aneh masakan yang tersaji dimeja makan, meski sang pelayan menyajikannya dengan senyuman.

Dari sini dan dari pengalaman pribadi, memang memasak dapat digunakan sebagai terapi mental, minimal kita tahu bagaimana kondisi diri kita pada saat itu dengan melihat hasil akhir dari masakan yang tersaji, meski itu juga bukan menjadi patokan utama dalam mengukur emosional seseorang.

Bila ada interview dengan menggunakan test psikologi tertulis dan wawancara atau bahkan sudah ada pengetesan yang dilakukan dengan memecahkan suatu masalah menggunakan alat bantu permainan strategi, bagaimana jika dilakukan pengetesan psikologi dengan memasak, pastinya akan sangat seru, teringat masa sekolah dasar saat kelas enam untuk kelulusan biasanya ada praktek sholat dan praktek memasak. Saat itu kami memasak pecel, sayur mayur yang direbus dan beberapa ada yang masih mentah, disiram dengan sambal kacang yang dicampur dengan asam jawa.


FETSIN VS GULA

Orang yang kurang percaya diri adalah mereka yang selalu menutupi kekurangnya bukan dengan merubah kekurangan menjadi kekuatan. Dalam memasak diperlukan perasaan mendalam serta logika yang tajam. Bisa jadi karena terlalu terbawa perasaan masakan tersebut akan aneh rasanya, karena hanya tergantung pada perasaan, disini peran logika diperlukan karena secara tidak langsung terjadi hitung-hitungan pasti yang menjadi tugas utama logika, semisal seberapa banyak kita harus menaburkan garam pada kuah yang bila kita sajikan hanya menjadi dua mangkuk dengan isi sayuran yang dasarnya tawar serta daging yang dasarnya tawar juga.

Boleh kita belajar dari masakan yang telah terstandar dengan baik, misal jus poligami produk dari wong solo, dimanapun anda membelinya selama masih keluaran dari brand wong solo maka akan terasa sama. Ada kisah menarik terkait standar rasa, di sebuah outlet mie, ia tidak akan buka bila rasanya tidak sama dengan rasa yang kemarin. Maka itu terkadang untuk menyamakan rasa mie setiap harinya, outlet tersebut jadi terkadang buka jam 8 pagi, jam 13 siang, jam 14 atau bahkan tutup untuk hari itu dikarenakan masih saja tidak sama rasa mie kemarin dengan mie pada hari operasional berikutnya. Dan dengan komitmen seperti itu, setiap kali buka, outlet mie tersebut paling lama membutuhkan waktu paling lama 4 jam operasional untuk menghabiskan seluruh mie sebagai barang dagangnya.